Ilustrasi / photo : alana.io |
Suatu ketika, saya satu bus dengan seorang tokoh, ia ninik mamak disegani. Saya tidak ingat namanya, tapi saya tau betul siapa dia. Saya panggil "Mamak" pada beliau. Mamak dimaksud pernah menjadi anggota dewan terhormat semasa orde baru di salah satu kabupaten di propinsi Sumatera Barat.
Di atas bus, penumpang hanya ada 2 orang, berselang beberapa km, naiklah mamak, dengan tujuan ke pasar tradisional. Inilah awal pertemuan masa itu, dan yang akan saya ceritakan.
Baiklah !
Di atas bus, saya sapa mamak, serta menanyakan mau kemana. Hingga akhirnya, kami bercerita banyak. Namun, satu hal yang membuat saya terkesan dengan cerita beliau terkait regenerasi.
"Ibarat memanen sebatang ubi, di saat memetik hasil, keluar bongkahan ubi bercabang dan berat. Hasilnya bisa dimakan atau dijual di pasar. Orang yang berhasil panen, boleh dibilang sukses. Ia bisa menanam, menjaga, merawat hingga memetik hasil. Tapi, orang tersebut belum bisa disebut hebat." Kecat mamak.
Kenapa belum hebat mak? Tanya saya.
"Bila hanya sekedar menanam, merawat, menjaga dan memanen, kita semua bisa. Tapi, bagaimana mengembangkan dan meregenerasi, dari satu menjadi dua, dari dua menjadi tiga dan seterusnya inilah tantangan sebenarnya." Ulas mamak.
Kemudian mamak menjelaskan, bahwa setelah sukses panen, sepantasnya dikembangkan, batang ubi dipotong-potong kurang lebih sepanjang lengan bawah. Batang ubi yang telah di potong lalu disortir, kemudian dicucukan di lahan baru, aktifitas ini terus dikembangkan biakan hingga menjadi luas. Inilah yang dimaksud regenerasi.
"Demikian pula dalam kehidupan sehari-hari. Bila kamu ingin besar dan berpengaruh luas, maka ambillah contoh dari bertanam ubi." Saran mamak kepada penulis.
Lihatlah orang sekelilingmu, apakah ia memiliki potensi? Ia lemah dari segi ekonomi? Ia tidak mampu, tapi bisa diberdayakan untuk dikembangkan? Maka bantulah dia, carikan dia jalan, beri ia bantuan sesuai kemampuanmu. Tularkan terus energi ini tanpa memandang bulu.
Mamak terus, memberi saran pada penulis. Bahkan, ia memanggil saya sebagai " nakan" (keponakan). Bus terus melaju, lokasi tujuan mamak hampir dekat. Penulis sebenarnya sangat tertarik menanya banyak hal tentang kehidupan sosial dari beliau.
Saran mamak sebelum turun dari bus, "nakan ! bila kamu ingin jadi orang besar dan memiliki "lahan luas" maka tanamlah dari dini bibit-bibit kebaikan. Lakukan regenerasi, mulai perbaiki dirimu, dari keluargamu, lingkunganmu, dan daerahmu. Bibit kebaikan yang nakan kembangkan adalah kader terbaik di suatu hari. Dan, ajarkan pula filosofi kehidupan bertanam ubi pada mereka, jangan sampai terhenti." Saran mamak sebelum turun dari bus.
Terakhir mamak mengungkapkan kalimat sakti, bahwa "Sukses itu, ketika kamu mampu membuat orang lain sukses."
Sebelum turun, saya ucapkan terima kasih atas saran dan petuahnya mamak. Juga sekalian bercermin diri, bahwa saya tidak ada apa-apanya. Hanya sekedar sukses memanen, tapi belum bisa mengembangkan lahan potensial baik dikampung halaman maupun dirantau. Boleh dibilang, baru bisa untuk diri sendiri dan keluarga kecil saja. Mungkin, suatu hari saya akan bisa.
Comments
Post a Comment